YOK FOLLOW YOK

Selasa, 05 Agustus 2014

Cerpen : Melody Dalam Diam



Hening..  Sunyi.. Sepi..

Mungkin itu adalah suasana yang tepat untuk menggambarkan keadaan perpustakaaan, tempat dimana aku berada sekarang. Aku mendesah malas, begitu rasa bosan itu menghampiriku. Sudah hampir satu jam aku berada di tempat ini. Berkutat dengan buku-buku tebal yang semuanya berisi tentang formula rumus yang entah kenapa tidak dapat aku mengerti.


Aku mengalihkan pandanganku dari buku-buku tebal yang memuakkan itu. Memandang ke luar jendela. Tanpa sengaja mataku menagkap sesosok laki-laki yang dengan lihainya menggiring bola yang berada di kakinya. Tanpa dapat ditahan, senyuman tersungging begitu saja di bibirku.


Karena letak perpustakaan yang berada di lantai dua dan juga saat ini aku berada di dekat jendela, memudahlanku untuk dapat melihat segerombolan laki-laki yang sedang memperebutkan bola di lapangan yang berada tepat disamping gedung kampusku  ini. Mataku  terus terpaku kepada sosoknya yang sedari  tadi terus menyumbangkan angka untuk timnya.


Tiba-tiba saja laki-laki itu mendongakkan kepalanya dan melihatku yang sedari tadi terus memperhatikannya. Senyuman manis tersungging dibibirnya. Tangannya ia lambaikan begitu saja padaku. Senyumanku semakin melebar. Aku pun membalas lambaian tangannya.


Aku beranjak dari tempatku duduk. Menghampirinya. Dia. Dava Prasetya. Laki-laki yang dengan sudi berteman denganku disaat semua orang menjauhiku. Laki-laki yang dengan sukarela mengulurkan tangannya di saat aku jatuh. Laki-laki yang kukenal lima tahun yang lalu. Laki-laki itu. Sahabat terbaikku. Laki-laki itu. Aku mencintainya.



_oOo


Aku tersenyum getir menatap kertas di hadapanku. Tergambar dengan jelas sketsa wajah seseorang yang sedang tertidur di atas meja. Kusibakkan kertas itu, dan tergambar sketsa wajah seseorang yang sama di kertas berikutnya. Begitupun seterusnya. Sketsa wajah yang kugambar secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.


Tiba-tiba saja sekelebatan bayangan terlintas di benakku. Bayangan ketika seorang Dava melambaikan tangannya dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Sayang, ternyata lambaian tangan dan senyum itu bukan untukku. Namun untuk seorang wanita yang bahkan jauh lebih baik dariku. Jika diibaratkan aku hanya sebuah bintang kecil yang sinarnya redup. Dan wanita itu, seperti sebuah bintang yang terang dan membuat orang-orang tertarik untuk melihatnya.


Tanpa sadar cairan bening lolos begitu saja dari mataku dan terjun bebas membasahi sketsa wajahnya. Aku menangis. Menangisi kebodohanku yang dengan mudahnya jatuh dalam pesona seorang Dava Prasetya. Membiarkan rasa ini tumbuh kian besar hingga sangat sulit untuk menghentikannya. Seharusnya dari awal aku harus sadar diri, jika Dava tidak mungkin membalas perasaanku. Seorang gadis cupu. Siapa yang sudi mencintai gadis sepertiku?


Aku mencoba berteriak sekuat tenagaku. Namun nihil. Tak ada secuil suara pun yang keluar dari bibirku. Tangisanku semakin mengeras. Tanganku tergerak untuk memukul dadaku yang terasa sesak. Kenapa rasanya sangat menyakitkan?


Tanpa sengaja mataku menatap sebuah amplop besar yang tergeletak begitu saja di atas kasurku. Dengan langkah pelan aku mengambil amplop itu. Aku tahu betul apa isi dari amplop ini. Walaupun begitu tanganku tetap tergerak untuk membuka dan mengeluarkan isinya. Surat pemberitahuan beasiswa ke Harvard University.


Aku sempat ragu dalam mengambil keputusan ini. Namun sekarang aku sudah memantapkan keputusan yang akan aku ambil. Keputusan untuk mengambil beasiswa ke universitas yang selalu kuimpikan itu. Namun sebelum itu aku akan melakukan sesuatu.



_oOo_



Aku melambaikan tanganku kearah Dava yang berjalan kearahku. Ia pun membalas lambaian tanganku. Aku tersenyum lebar ke arahnya.

Dava?

ya Melody?


Suaranya terdengar bersamaan dengan gerakan tanganku yang memanggil namanya. Ia tertawa menyadari itu. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin kau katakan padaku. Mel.. cepat katakan!” kata Dava terdengar memerintah.

Aku memajukan bibirku beberapa centi. Aku menggelengkan kepalaku.

Kau dulu yang ceritakan padaku. Kau juga ingin bercerita sesuatu padaku kan.”

Dava balas menggelengkan kepalanya.

Kau dulu. Ladies first.”
“Kau dulu.”

“Kau.”

Kami terus berdebat hingga akhirnya Dava menyerah. “Baiklah. Aku akan menceritakannya padamu terlebih dahulu.” Aku menatapnya penasaran. “Xavierra Alunna. Gadis itu ternyata juga menyukaiku. Dan hari ini dia resmi menjadi kekasihku.” Dava berujar dengan mata berbinar dan senyumannya yang lebar menghiasi bibirnya.


Senyumku memudar seiring dengan suaranya yang mengalun melewati gendang telingaku. Jantungku berdetak sangat cepat hingga menimbulkan perasaan sakit. Dadaku serasa terhimpit beban yang berat. Terasa sesak dan menyakitkan.


Aku mencoba menyunggingkan senyumku –walau terkesan terpaksa. Aku menggerakkan tanganku untuk mengucapkan selamat padanya. Dia menganggukkan kepalanya dengan semangat.

           Vall, sekarang ceritakan padaku!” Ucap Dava masih dengan semangatnya.

Aku memutar bola mataku mencari cerita yang menarik untuk kuceritakan padanya. Setelah menemukan ide, aku segera merogoh note kecil di tas selempanganku. Dan menuliskan sesuatu disana.

Aku baru saja ditolak laki-laki yang aku sukai. Tulisku.

Mata
Dava membulat melihat tulisanku. “

Siapa yang berani menolak sahabatku yang cantik ini heh?”


           Kau..!’ Batinku berteriak.

Aku kembali menuliskan sesuatu. 

Sudah, lupakan saja. Lagipula dia sudah bahagia dengan wanita yang dia cintai.

Tanpa dapat ditahan lagi, air mataku mengalir begitu saja. Membuat Dava terkesiap kaget. “

Yaa!. Lupakan saja laki-laki bodoh yang telah menolakmu itu. Kau pasti akan mendapat laki-laki yang jauh lebih baik darinya.” Ucap Dava mencoba menenangkanku.

Namun, air mataku semakin deras mengalir. Membuat Dava menarikku kedalam pelukan hangatnya. Ingin sekali kuteriakkan padanya jika dialah laki-laki bodoh itu. Dialah yang membuatku menangis seperti ini. Namun itu adalah sesuatu hal yang mustahil untuk kulakukan.


_oOo_
Sebenarnya hari itu, hari dimana Dava mengatakan padaku jika dia telah resmi berpacaran dengan Luna, aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun pada akhirnya, aku tetap menyimpan rapat perasaanku ini. Tak membiarkannya untuk mengetahuinya barang sedikitpun.

Biarlah waktu yang akan menyampaikan perasaanku ini padanya. Membiarkan waktu yang akan memberitahunya jika disini ada seorang wanita yang mencintainya. Ada seorang wanita yang melukisnya diam-diam. Ada seorang wanita yang terlampau sering menangis karenanya.

Suara wanita dari pengeras suara di bandara yang memberitahukan jika pesawat yang akan kutumpangi akan segera lepas landas, membuyarkan segala pikiran-pikiranku. Segera aku melangkahkan kakiku cepat sembari menggeret koper besarku. Sesekali aku menolehkan kepalaku kebelakang, berharap orang itu datang. Namun itu semua hanya ada di anganku saja.

Good bye Indonesia. Good bye... my first love.


end~




Dalam ketidakberdayaanku ini, ingin kuteriakkan jika aku mencintaimu.

Ingin kukatakan Jika wanita ini mencintaimu hingga dia begitu takut jika kau menjauh darinya.

Ingin kusampaikan Jika wanita ini mencintaimu hingga rasa sakit itu seolah berteman baik dengannya.

Ingin kuucapkan Jika wanita ini mencintaimu hingga air mata itu tidak sungkan untuk selalu turun dari matanya.

Dalam diamku ini, selalu kuselipkan namamu dalam setiap doaku.

Dalam diamku ini, selalu kusimpan rasa sakit ini seorang diri.

Dalam diamku ini, aku mencintaimu.


Vallerie Melody Amanda-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gimana komentarmu?