Hening.. Sunyi..
Sepi..
Mungkin itu adalah suasana yang tepat untuk menggambarkan
keadaan perpustakaaan, tempat dimana aku berada sekarang. Aku mendesah malas,
begitu rasa bosan itu menghampiriku. Sudah hampir satu jam aku berada di tempat
ini. Berkutat dengan buku-buku tebal yang semuanya berisi tentang formula rumus
yang entah kenapa tidak dapat aku mengerti.
Aku mengalihkan pandanganku dari buku-buku tebal yang memuakkan
itu. Memandang ke luar jendela. Tanpa sengaja mataku menagkap sesosok laki-laki
yang dengan lihainya menggiring bola
yang berada di kakinya. Tanpa dapat ditahan,
senyuman tersungging begitu saja di bibirku.
Karena letak perpustakaan yang berada di lantai dua dan juga
saat ini aku berada di dekat jendela, memudahlanku untuk dapat melihat
segerombolan laki-laki yang sedang memperebutkan bola di lapangan yang berada
tepat disamping gedung kampusku ini. Mataku terus terpaku kepada sosoknya yang sedari tadi
terus menyumbangkan angka untuk timnya.
Tiba-tiba saja laki-laki itu mendongakkan kepalanya dan
melihatku yang sedari tadi terus memperhatikannya. Senyuman manis tersungging
dibibirnya. Tangannya ia lambaikan begitu saja padaku. Senyumanku semakin
melebar. Aku pun membalas lambaian tangannya.
Aku beranjak dari tempatku duduk. Menghampirinya. Dia.
Dava Prasetya. Laki-laki yang dengan sudi berteman denganku disaat semua
orang menjauhiku. Laki-laki yang dengan sukarela mengulurkan tangannya di saat
aku jatuh. Laki-laki yang kukenal lima tahun yang lalu. Laki-laki itu. Sahabat
terbaikku. Laki-laki itu. Aku mencintainya.
_oOo
Aku tersenyum getir menatap kertas di hadapanku. Tergambar
dengan jelas sketsa wajah seseorang yang sedang tertidur di atas meja.
Kusibakkan kertas itu, dan tergambar sketsa wajah seseorang yang sama di kertas
berikutnya. Begitupun seterusnya. Sketsa wajah yang kugambar secara diam-diam
tanpa sepengetahuannya.
Tiba-tiba saja sekelebatan bayangan terlintas di benakku. Bayangan
ketika seorang Dava melambaikan tangannya
dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Sayang, ternyata lambaian tangan
dan senyum itu bukan untukku. Namun untuk seorang wanita yang bahkan jauh lebih
baik dariku. Jika diibaratkan aku hanya sebuah bintang kecil yang sinarnya
redup. Dan wanita itu, seperti sebuah bintang yang terang dan membuat
orang-orang tertarik untuk melihatnya.
Tanpa sadar cairan bening lolos begitu saja dari mataku dan
terjun bebas membasahi sketsa wajahnya. Aku menangis. Menangisi kebodohanku
yang dengan mudahnya jatuh dalam pesona seorang Dava Prasetya.
Membiarkan rasa ini tumbuh kian besar hingga sangat sulit untuk
menghentikannya. Seharusnya dari awal aku harus sadar diri,
jika Dava tidak mungkin membalas perasaanku. Seorang
gadis cupu. Siapa yang sudi mencintai gadis
sepertiku?
Aku mencoba berteriak sekuat tenagaku. Namun nihil. Tak ada
secuil suara pun yang keluar dari bibirku. Tangisanku semakin mengeras.
Tanganku tergerak untuk memukul dadaku yang terasa sesak. Kenapa rasanya sangat
menyakitkan?
Tanpa sengaja mataku menatap sebuah amplop besar yang tergeletak
begitu saja di atas kasurku. Dengan langkah pelan aku mengambil amplop itu. Aku
tahu betul apa isi dari amplop ini. Walaupun begitu tanganku tetap tergerak
untuk membuka dan mengeluarkan isinya. Surat pemberitahuan beasiswa ke Harvard
University.
Aku sempat ragu dalam mengambil keputusan ini. Namun sekarang
aku sudah memantapkan keputusan yang akan aku ambil. Keputusan untuk mengambil
beasiswa ke universitas yang selalu kuimpikan
itu. Namun sebelum itu aku akan melakukan sesuatu.
_oOo_
Aku melambaikan tanganku kearah Dava
yang berjalan kearahku. Ia pun membalas lambaian tanganku. Aku tersenyum lebar
ke arahnya.
Dava?”
ya Melody?
Suaranya terdengar bersamaan dengan gerakan tanganku yang
memanggil namanya. Ia tertawa menyadari itu.
Sepertinya
ada sesuatu hal yang ingin kau katakan padaku. Mel..
cepat katakan!” kata Dava terdengar memerintah.
Aku memajukan bibirku beberapa centi. Aku menggelengkan kepalaku.
Kau dulu yang ceritakan padaku. Kau juga ingin bercerita sesuatu
padaku kan.”
Dava balas menggelengkan kepalanya.
Kau dulu. Ladies first.”
“Kau
dulu.”
“Kau.”
Kami terus berdebat hingga akhirnya Dava
menyerah. “Baiklah. Aku akan menceritakannya padamu terlebih
dahulu.” Aku menatapnya penasaran. “Xavierra Alunna.
Gadis itu ternyata juga menyukaiku. Dan hari ini dia resmi menjadi kekasihku.” Dava
berujar dengan mata berbinar dan senyumannya yang lebar menghiasi bibirnya.
Senyumku memudar seiring dengan suaranya yang mengalun melewati
gendang telingaku. Jantungku berdetak sangat cepat hingga menimbulkan perasaan
sakit. Dadaku serasa terhimpit beban yang berat. Terasa sesak dan menyakitkan.
Aku mencoba menyunggingkan senyumku –walau terkesan terpaksa.
Aku menggerakkan tanganku untuk mengucapkan selamat padanya. Dia menganggukkan
kepalanya dengan semangat.
“ Vall, sekarang ceritakan
padaku!” Ucap Dava masih dengan
semangatnya.
Aku memutar bola mataku mencari cerita yang menarik untuk
kuceritakan padanya. Setelah menemukan ide, aku segera merogoh note kecil di
tas selempanganku. Dan menuliskan sesuatu disana.
Aku
baru saja ditolak laki-laki yang aku sukai. Tulisku.
Mata Dava membulat melihat tulisanku. “
Siapa yang berani menolak sahabatku
yang cantik ini heh?”
‘ Kau..!’ Batinku
berteriak.
Aku kembali menuliskan sesuatu.
Sudah, lupakan saja. Lagipula dia sudah bahagia dengan wanita
yang dia cintai.
Tanpa dapat ditahan lagi, air mataku mengalir begitu saja.
Membuat Dava terkesiap kaget. “
Yaa!. Lupakan saja laki-laki bodoh yang telah menolakmu itu. Kau
pasti akan mendapat laki-laki yang jauh lebih baik darinya.” Ucap Dava
mencoba menenangkanku.
Namun, air mataku semakin deras mengalir. Membuat Dava
menarikku
kedalam pelukan hangatnya. Ingin sekali kuteriakkan padanya jika dialah
laki-laki bodoh itu. Dialah yang membuatku menangis seperti ini. Namun itu
adalah sesuatu hal yang mustahil untuk kulakukan.
_oOo_
Sebenarnya hari itu, hari dimana Dava
mengatakan padaku jika dia telah resmi berpacaran dengan Luna,
aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun pada akhirnya, aku tetap
menyimpan rapat perasaanku ini. Tak membiarkannya untuk mengetahuinya barang
sedikitpun.
Biarlah waktu yang akan menyampaikan perasaanku ini padanya.
Membiarkan waktu yang akan memberitahunya jika disini ada seorang wanita yang
mencintainya. Ada seorang wanita yang melukisnya diam-diam. Ada seorang wanita
yang terlampau sering menangis karenanya.
Suara wanita dari pengeras suara di bandara yang memberitahukan
jika pesawat yang akan kutumpangi akan segera lepas landas, membuyarkan segala
pikiran-pikiranku. Segera aku melangkahkan kakiku cepat sembari menggeret koper
besarku. Sesekali aku menolehkan kepalaku kebelakang, berharap orang itu
datang. Namun itu semua hanya ada di anganku saja.
Good
bye Indonesia. Good bye... my first love.
end~
Dalam
ketidakberdayaanku ini, ingin kuteriakkan jika aku mencintaimu.
Ingin
kukatakan Jika wanita ini mencintaimu hingga dia begitu takut jika kau menjauh
darinya.
Ingin
kusampaikan Jika wanita ini mencintaimu hingga rasa sakit itu seolah berteman
baik dengannya.
Ingin
kuucapkan Jika wanita ini mencintaimu hingga air mata itu tidak sungkan untuk
selalu turun dari matanya.
Dalam
diamku ini, selalu kuselipkan namamu dalam setiap doaku.
Dalam
diamku ini, selalu kusimpan rasa sakit ini seorang diri.
Dalam
diamku ini, aku mencintaimu.
– Vallerie Melody
Amanda-






Tidak ada komentar:
Posting Komentar
gimana komentarmu?